Duhai qalbu, keluarlah dari tubuhku. Kusediakan untukmu sebuah bangku kayu. Duduklah di sana, di depanku, dan berikan senyum paling lembutmu. Duduklah di sana, di hadapanku, dan katakan kemarahan terdalam yang lama kaupendam dalam-dalam.
Duhai qalbu, katakanlah apa yang akan atau harus kulakukan. Sudah lama aku belajar membaca dan menjaga perasaan orang, tetapi aku selalu siswa yang gagal bahkan sebelum ujian. Aku masih sering menyakiti hati orang: kadang diam-diam, kadang terang-terangan. Celakanya, aku kerap gagal melafalkan kata “maaf”.
Duhai qalbu, tataplah mataku. Tatap lekat-lekat. Lihat luka mana yang masih menggenang di mataku. Lihat duka apa yang masih menggelinang di sana. Katakan bagaimana aku bisa mengelap atau mengeringkan luka dan duka itu. Katakan apa yang sebaiknya kulakukan agar bisa mengeja frasa “terima kasih”.
Duhai qalbu, katakan apa saja yang ingin kausuarakan. Aku siap membaca bunyi rahasia: bunyi yang selama ini enggan kudengar darimu. Katakan saja, Hati, sebab aku ingin sekali menghentikan tabiat melukai hati orang: anak-anakku, kekasihku, saudara-saudaraku, sanak kerabatku, dan teman-temanku. Aku juga ingin berhenti melukaimu, qalbu.
Tinggalkan komentar