
Gelap datang menghampiri. Perlahan, awan mulai menghitam. Rintikan hujan terdengar jalanan,
ranting dan dedaunan
rupanya langit telah menangis.
Demikian Aku selalu beranggapan, hadirnya mungkin menjelma dalam bungkusan beban.
Namun, ketidakadaan-nya melahirkan penyiksaan yang baru, sebutlah ia rindu.
Diam dalam biasnya kehidupan atau berontak dalam gejolaknya ambisi.
Jalan menuju pengaduan, dan menantang lantang dunia.
Sebab, semua tak mungkin akan tersampaikan. Mengakui-Mu sebagai keindahan hanyalah sisa-sisa perasaan yang masih bertahan.
Lupakanlah!
Terlihat akan genangan hujan saat itu. Mengalir ke beberapa hilir, mengering dalam pelukan tanah, lalu terdiam membisu dalam perut bumi.
Sungguh, kini ia telah pergi.
Semuanya telah hilang, senyuman ini perlahan runtuh oleh tangisan. Sepantasnya luka itu harus tergoreskan, dalam fikiran sekian kalinya kau tak mampu enggan kusingkirkan dalam ingatan.
Selintas Aku telah terpuruk dalam penyesalan. Kehancuran, bahkan mengutuk Tuhan yang tak pernah adil dalam menetapkan kisah hambanya. Harusnya, kata itu tidak pantas diucapkan.
Aksara-aksara liar kini telah menari dalam kepala penyair muda itu. Tuhan sudah membenci, kita tak tertuntun lagi, dan berpasrah akan nyamannya genggaman pelukan erat keputusasaan.
Langkah kaki telah tertatih, gemuruh riuh datang mencaci, segala hal termakan asumsi. Terusik untuk bangkit. Namun, semua telah selesai dan sudah tak berarti.
Setelah duka mendayu derita dan jika memang harus patah, maka patalah.
Tinggalkan komentar